6.12.10

Artikel: "Shariah Marketing (Pemasaran Secara Syariah) Part I"

Di dunia, perekonomian dikuasai oleh sistem konvensional atau capitalistic system. Yang kaya yang berkuasa. Perusahaan-perusahaan besar berkuasa dan kaya raya, karena tujuannya adalah untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dengan modal sesedikit mungkin. Menguntungkan untuk para konglomerat tapi tidak selalu menguntungkan bagi rakyat kecil. Terdengar tidak adil memang. Tapi tidak dengan kondisi kebanyakan Negara maju. Amerika Serikat dan Eropa, misalnya, relatif tinggi keadilan ekonomi itu karena masyarakatnya sangat tunduk pada hukum. Perusahaan-perusahaan besar itu taat membayar pajak (dibikin taat oleh sistem) dengan jumlah yang sangat besar kepada pemerintah. Dari pemasukan pajak ini lah rakyat kecil hidup. Namun, karena begitu kuatnya pengaruh perusahaan-perusahaan besar ini, seandainya salah satunya bangkrut, perekonomian Negara serta-merta lumpuh dibuatnya. Seperti krisis yang terjadi di Amerika pada tahun 2008, dimana salah satu perusahaan terbesar ‘batuk’ dan menyebabkan krisis ekonomi besaran-besaran.

Berbeda cerita dengan China yang sebagian besar menggunakan system Sosialis, pemerintahlah yang berkuasa. Rakyat tahunya bekerja. Keuntungannya adalah relatif tidak ada kesenjangan sosial yang menonjol seperti pada Konvesional. Semua hidup dari pemerintah. Pemerintah menjamin kesejahteraan seluruh rakyatnya. Kelemahannya, rakyatnya tidak bisa maju, semua disamaratakan. Jelas, sulit untuk mengharapkan kreativitas dari rakyat karena tak ada rewards. Rakyat bekerja apa adanya dan malas untuk berprestasi.

Ekonomi Indonesia, pada dasarnya Konvensional atau Kapitalistik. Sistem ekonomi dikuasai oleh usaha-usaha besar milik konglomerat, baik nasional maupun asing, dan beberapa perusahaan besar milik pemerintah. Kalau ditelusuri satu persatu, hampir seluruh usaha yang ada di negeri ini, bergerak secara Konvesional. Mulai dari korporasi sampai ke toko-toko di pinggir jalan. Minimarket,  sebagai gambarannya, dikuasai oleh beberapa perusahaan milik konglomerat. Banyak minimarket milik konglomerat berkedudukan di Jakarta bahkan milik konglomerat asing telah menggurita menguasai hajat hidup rakyat banyak. Kota-kota di pulau Jawa sudah dipenuhi oleh minimarket konglomerat itu. Dan sejak 2 tahun terakhir, gurita itu sudah menjalar ke pulau Sumatera. Berawal di kota Medan. Kemanpun kita pergi, kota terbesar di Sumatera itu sudah diguritai oleh minimarket konglomerat dari Jakarta. Usaha pinggiran jalan yang semula adalah hajat hidup orang kecil, sekarang berubah menjadi mainan konglomerat Jakarta dan asing. Sebentar lagi Kota Padang juga akan terjajah. 

Rakyat yang ingin berbisnis diberi syarat oleh Franchisor atau perusahaan milik konglomerat tersebut untuk menyetor modal berupa ruko dan uang yang cukup sebesar jumlahnya (minimum Rp. 350 juta) per gerai. Setelah itu semua manajemen dikerjakan oleh perusahaan konglomerat tanpa campur tangan si pemilik modal. Ironisnya, keuntungan yang di dapat lebih banyak lari ke tangan franchisor yang dapat dikatakan tidak memberi modal apapun.   Dan minimarket milik konglomerat itupun mereka dirikan di lokasi-lakasi warung-warung rakyat.  Tak pelak lagi terjadilah pertarungan yang tak seimbang.

Dengan munculnya sistem ekonomi Syariah ditengah-tengah maraknya praktik  ekonomi kapitalistik, ada sebuah harapan yang sangat besar bagi umat. Harapan besar bagi rakyat kecil. Syariah bermaksud untuk mensejahterakan rakyat dan sekaligus memberikan kesempatan rakyatnya untuk maju dalam berbisnis. Tidak mematikan usaha rakyat atau warung-warung yang sudah berdiri dan dimiliki oleh umat secara turun temurun. Tidak untuk berkompetisi dengan rakyat badarai. Bahasa gampangnya, Syariah itu adil dan bermartabat. Dan tujuan utamanya adalah mengutamakan pengembangan kemampuan umat untuk berbisnis.

Persolannya adalah karena di perguruan tinggi kita pada umumnya kita diajari ekonomi konvensional, dan di pemerintahan ekonomi syariah tak pernah dikenal, kita menganggap  gurita minimarket yang mencengkram ekonomi dan hajat hidup pedagang kecil ini sebagai fenomena biasa. Ya sebuah sistem perdagangan berbasis pasar. Ya…. karena kita teredukasi oleh sistem ekonomi pasar. Kita diajari bahwa kekuatan pasarlah yang menentukan pertumbuhan ekonomi. Pemikiran Neolib ini sudah merasuk kedalam tulung sumsum kita semua. Pertanyaanya adalah akankah sistem pasar ini mendatangkan kesejahteraan umat? Akankah rakyat kecil yang selama ini berdagang di pinggir jalan, membuka watung-warung kehidupan bias bertahan bila minimarket konglomerat ini berdiri di seberang jalan? Akankah para pejabat daerah tetap meresmikan gerai demi gerai minimarket konglomerat ini tanpa memahami bahwa sesungguhnya usaha rakyat kecil digilasnya? Akankah kita diam saja? (Bersambung)

No comments:

Post a Comment