6.12.10

Artikel: "Penulis Minang: Nasibmu Kini..."

Siapa yang tidak akrab dengan kisah Siti Nurbaya? Seorang gadis yang harus rela mengorbankan cinta sejatinya dan dipaksa untuk menikah dengan saudagar kaya raya bernama Datuk Maringgih. Kisah ini ditulis oleh sastrawan Minang Marah Rusli yang dituangkan dalam bentuk novel. Novel ini diterbitkan pertama kali pada tahun 1922 dengan judul asli “Sitti Noerbaja”. Karya ini menjadi semakin populer lagi ketika akhirnya dibuat serial TV-nya, dibintangi oleh Novia Kolopaking, Gusti Randa dan H.I.M Damsyik produksi tahun 1990.

Marah Rusli bukan satu-satunya sastrawan besar asal Ranah Minang. Propinsi ini memang terkenal rajin melahirkan penulis atau sastrawan berbakat. Ingat roman Salah Asuhan? Itu ditulis oleh Abdul Muis yang juga orang Minang. Begitu juga penulis puisi Chairil Anwar dan Taufiq Ismail dengan segudang karyanya. Atau Hamka dan Tan Malaka sang pemberotak yang sekaligus merupakan penulis-penulis yang handal.

Tidak akan ada habisnya bila disebutkan satu-persatu siapa-siapa saja sastrawan terkemuka Minangkabau. Satu yang pasti, orang Minang adalah penguasa sastra Indonesia dari generasi ke generasi. Saking hebatnya, buku-buku sastrawan Minang kerap dijadikan acuan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah-sekolah maupun perguruan tinggi.

Tapi lain dulu lain sekarang. Sekarang, penulis asal Ranah Minang hampir tidak terdengar lagi. Penulis yang bisa menelurkan karya-karya berbobot seperti para pendahulunya. Kehebatan masa lalu itu, seolah tenggelam. Padahal potensi-potensi masih tetap ada di Sumatera Barat. Buktinya, beberapa bulan yang lalu ada empat penulis muda asal Padang yang dikirim ke Bali karena lolos seleksi Ubud Writers and Readers Festival. Karya mereka diakui sangat bagus dan bahkan dominan diantara 15 penulis yang lolos dari berbagai daerah. Lalu kemana perginya penulis-penulis berbakat lain?

Memang tidak gampang menjadi penulis yang sukses. Apalagi ada ribuan penulis di Indonesia. Kebanyakan dari penulis itu tidak tahu harus berbuat apa dengan karyanya. Banyak juga bahkan mungkin tidak sadar akan potensi yang dimiliki. Yang mereka butuhkan adalah bimbingan dan arahan yang benar. Mungkin juga perhatian perguruan tinggi, atau pemerintah daerah ataupun lembaga-lembaga sosial budaya. Perlu ada upaya untuk bangkit.

Sebagai gambaran nyata, coba tengok Qurrota Aini. Seorang penulis cilik yang berhasil memecahkan rekor MURI (Museum Rekor Indonesia) sebagai Penulis Antologi Cerpen Termuda. Bayangkan, buku Aini menjadi Best Seller. Buku dengan judul "Nasi untuk Kakek" yang dia tulis ketika dia masih  usia 7 tahun! Prestasi yang patut diacungi jempol. Siapa sangka kebiasaan mencorat-coret dinding bisa mengantar siswa Diniyah Puteri Padang Panjang ini menjadi seorang penulis berprestasi. Semua itu berkat bimbingan dan arahan dari ibunya sejak dia masih sangat kecil. Ini bisa menjadi contoh bagi penulis Sumatera Barat untuk bisa kembali muncul ke permukaan.

Selain itu, menurunnya minat menulis dan membaca di masa sekarang ini bisa juga menjadi alasan menurunnya kualitas dan kuantitas penulis dan sastrawan Indonesia, khususnya Sumatera Barat. Seharusnya, yang namanya budaya menulis dan membaca lebih ditegakkan lagi, bukan sekedar omongan belaka. Belajar menulis harus dengan menulis. Perguruan tinggi di Sumbar perlu membuka hati untuk mempelajari mengapa mereka tak berhasil menelurkan penulis berkualitas. Perlu instrospeksi mengapa sastrawan besar tak lagi lahir di Ranah Minang. Tak cukup bila kita hanya berbangga dengan masa lalu. Tak cukup hanya menggaungkan kehebatan Siti Noerbaya atau memuja-muja Chairil Anwar.

Oleh karenanya, Sumbar perlu berbenah. Sumbar perlu menjemput masa lalu nan gemilang. Perlu dibentuk suatu program yang dikemas dengan menarik untuk membangkitkan minat anak muda untuk menulis dan membaca. Di sekolah-sekolah dan universitas misalnya, bisa saja dibuat kurikulum khusus atau semacamnya yang difokuskan untuk menyalurkan dan mengembangkan potensi-potensi menulis.

Cara lain, bisa juga dibentuk suatu komunitas penulis sebagai wadah untuk bisa bertukar pikiran, berlatih dan memamerkan kemampuan menulisnya. Kalau di Bali ada Ubud Writers & Readers, di Sumbar harusnya ada Padang Writers' Club. Sebuah wadah bagi siapa saja untuk membangun komunitas penulis. Gunakan teknologi alam maya. Manfaatkan dunia chatting. Padang Writers' Club bisa mengarahkan anak muda dari chatting membuang waktu ke chatting karya tulis. Semua anak Minang dimanapun berada bisa bergabung membangun kembali kejayaan masa lalu. Kejayaan dunia sastra dan karya tulis. Seperti yang dilakukan oleh Taufiq Ismail dan istrinya dengan Rumah Puisi-nya. Dengan begitu semoga saja penulis dan sastrawan Minang bisa bangkit kembali. Insya Allah!

No comments:

Post a Comment